Bismillahirrahmanirrahim

Di antara syubhat yang pernah disinggung pada pembahasan tentang ‘bimbingan menyikapi sunnah’ adalah keberadaan minoritas yang harus dilindungi. Banyak didengungkan dan disuarakan jargon ‘membela dan melindungi kaum minoritas’ demi keadilan dan kebebasan berpendapat dan berkeyakinan. Atau demi demokrasi dan kebangsaan.

                Namun apakah sesimpel ini dalam memberikan perlindungan dan kebebasan kepada ‘kaum minoritas’? Apakah tidak perlu memerhatikan hakikat dan inti ajaran atau pemikiran mereka? atau ambisi apakah yang disembunyikan di balik seruan-seruan membela kaum ‘minoritas’ (baca : Ahmadiyah dan Syiah serta sekte-sekte sesat lainnya)?

                Kalau yang dimaukan dengan melindungi dan memberikan kebebasan kepada ‘kaum minoritas’ adalah membiarkan kesesatan dan kejahatan mereka serta penistaan terhadap agama Islam yang mereka lakukan, maka yang demikian ini tentu harus diluruskan. Karena secara hukum bernegara pun semua sepakat untuk membela kebenaran dan menghancurkan kebatilan atau kezaliman. Tindakan penistaan terhadap agamapun juga tidak dibenarkan.

Terlebih dalam hukum agama, maka akan didapati di sana hukum tentang penjagaan akal sehingga diharamkanlah khamer, penjagaan harta sehingga ditetapkan hukum potong tangan bagi pencuri, hukum penjagaan jiwa sehingga ada di dalamnya hukum balas bunuh atau qishash, hukum penjagaan keturunan sehingga diadakan hukum rajam atau hukum cambuk bagi pezina, dan hukum bunuh bagi yang keluar dari agama Islam atau bagi yang melakukan perbuatan tertentu yang mengharuskannya dibunuh atau diperangi.

Pada kesempatan kali ini akan kita simak sebagian sikap dari para Salaf dan sikap al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah dalam menyikapi kelompok ‘minoritas’ (baca: sekte sesat dan menyimpang, bahkan sekte yang telah dikafirkan oleh para ulama seperti Syiah).

Lainnya