Persaksikanlah Aku telah Gila …. !!! (al-Imam asy-Syafi’i Menilai Orang yang Menolak as-Sunnah atau Hadits Shahih)

Tinggalkan komentar

Demikian kurang lebihnya arti dari ucapan al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah tentang orang yang tidak mau berpegang dan mengikuti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Pada judul terdahulu, yaitu “Yang ‘Sunnah’ ditinggalkan?”, telah kita ketahui definisi ‘sunnah’ menurut bidangnya masing-masing. Sebagai ulasan ada tiga penggunaan kata ‘sunnah’ yang masing-masing memiliki definisi sendiri-sendiri:

  1. Definisi secara istilah syari’at
  2. Definisi menurut ilmu hadits
  3. Definisi menurut ilmu fikih dan ushul fikih

Dan telah kita ketahui pula dari pernyataan al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah bagaimana seharusnya sikap seorang muslim terhadap amalan ‘sunnah’ (yaitu ‘sunnah’ menurut definisi sebagian fuqaha’: apabila dikerjakan mendapatkan pahala apabila tidak dikerjakan tidak mendapat dosa) atau dengan kata lain mustahab atau mandub.

Terkait dengan judul rubrik kali ini, yaitu “Persaksikanlah aku telah gila …. !!!” maka kurang lebih demikian ini terjemahan dari pernyataan al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah yang sebentar lagi akan kita simak.

Yang dimaksud dengan ‘as-sunnah’:

Sebelum membawakan pernyataan al-Imam asy-Syafi’i yang dimaksud, terlebih dahulu kita memberikan batasan as-sunnah pada pembahasan ini dengan definisi menurut istilah syari’at, yaitu sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah pada pembahasan terdahulu:

الْمُرَاد بِالسُّنَّةِ الطَّرِيقَة لَا الَّتِي تُقَابِل الْفَرْض وَالرَّغْبَة عَنْ الشَّيْء الْإِعْرَاض عَنْهُ إِلَى غَيْره ، وَالْمُرَاد مَنْ تَرَكَ طَرِيقَتِي وَأَخَذَ بِطَرِيقَةِ غَيْرِي فَلَيْسَ مِنِّي

“Yang dimaksud dengan ‘as-sunnah’ (pada hadits ini) adalah ath-thariqah (tarekat/metode/tata cara), bukannya ‘sunnah’  yang menjadi kebalikan dari kata fardhu (wajib).

Sedangkan sikap membenci sesuatu adalah berpaling darinya untuk kemudian menuju kepada selain dari sesuatu itu (dalam hal ini ‘sunnah Nabi shallallahu ‘alai wa sallam’). Dan maksud dari hadits di atas adalah orang yang meninggalkan tarekatku dan mengambil (menempuh) tarekat selainku maka ia bukan dari golonganku.” Selesai penukilan.

Dengan demikian kata ‘sunnah’ pada pembahasan ini mencakup semua yang diajarkan dan dianjurkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik yang hukumnya wajib maupun sunnah (mustahab), atau suatu amalan yang ingin dilakukan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang telah dinyatakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah:

مَا جَاءَ عَنْ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَقْوَاله وَأَفْعَاله وَتَقْرِيره وَمَا هَمَّ بِفِعْلِهِ

“Semua yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik berupa ucapan, perbuatan, persetujuan, dan apa yang beliau ingin lakukan.” [1]

 

Sikap al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah terhadap orang yang menolak sunnah atau hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

Berikut ini petikan perbincangan al-Imam asy-Syafii dengan seseorang yang diceritakan oleh ar-Rabi’ bin Sulaiman:

Ar-Rabi’ bin Sulaiman mengisahkan:

“Pernah ada seseorang yang menanyakan kepada al-Imam asy-Syafi’i:

تَأْخُذُ بِهَذَا الحَدِيْثِ يَا أَبَا عَبْدِ اللهِ؟

“Apakah Anda hendak memegangi (mengikuti) hadits ini, wahai Abu ‘Abdillah?”

Lalu al-Imam asy-Syafi’i menjawab:

مَتَى رَوَيْتُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ حَدِيْثاً صَحِيْحاً وَلَمْ آخُذْ بِهِ، فَأُشْهِدُكُم أَنَّ عَقْلِي قَدْ ذَهَبَ

Apabila aku meriwayatkan sebuah hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi, kemudian aku tidak memeganginya, maka aku persaksikan di hadapan kalian bahwa akalku telah hilang.” (Siyar A’lamun Nubala 10/34, Hilyatul Auliya)

Demikianlah al-Imam asy-Syafi’i memberikan teladan kepada kaum muslimin secara umum. Beliau tidak segan-segan untuk menerima dan memegangi hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hadits itu benar-benar shahih. Walaupun bertentangan pendapatnya terdahulu. Walaupun akan ada orang yang terheran atau bahkan mencemooh ketika berpegang dengan as-sunnah an-nabawiyyah. Sebagaimana telah dibawakan pula tentang ucapan beliau kepada al-Imam Ahmad pada rubrik “Siap Dikritik dan Mengkritik yang Benar”.

Dalam rubrik kali ini kita bawakan penilaian beliau kepada orang yang tidak mau menerima hadits yang shahih dengan alasan apapun. Yang sekaligus pula menunjukkan pengagungan beliau kepada hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ya ….., demikian inilah penilaian beliau kepada orang yang menolak hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih. Yaitu beliau menilai jenis orang seperti ini sebagai “orang gila”.

Tidak mengherankan apabila beliau menyimpulkan penilaian di atas. Dalam kehidupan sehari-hari kita saksikan perilaku orang-orang yang sudah hilang akalnya. Kita lihat – tentunya para pemerhati blog ini pernah melihat orang gila – bagaimana orang yang telah hilang akalnya dalam menjalani kehidupan ini. Tidak lagi terkontrol dalam semua kegiatan dan aktifitasnya. Ia akan sembarangan mengambil makanan. Makanan yang telah terbuang di selokan nan penuh dengan kotoran – bahkan kotoran manusia -, atau makanan yang  telah dibuang di tempat-tempat sampah akan ia ambil dan ia makan.

Dalam berpakaian juga demikian. Tidak lagi memerhatikan keindahan, kebersihan, dan seterusnya.

Dalam ia tidur, tidak memerhatikan lagi dimana ia tidur. Entah di tengah tempat sampah atau di emper-emper toko. Tidak peduli dan tidak pula sadar. Apalagi malu.

Ini sebagian perilaku orang gila yang barang kali akan membuat orang yang masih waras akalnya akan jijik dan muntah apabila melihatnya.

Dan tentunya masih banyak perilaku di luar akal sehat  yang lainnya yang akan dilakukan oleh orang gila. Seperti mengatakan dokter yang menanganinya sebagai orang gila. Dan seterusnya yang akan membuat panjang pembahasan sehingga akan membuat inti yang terpenting terlewatkan.

                Sedangkan bentuk nyata pernyataan dan perbuatan gila dan tidak waras yang terkait dengan permasalahan agama maka sangat banyak jumlahnya. Di antaranya adalah orang yang menolak hukum pancung, hukum potong tangan, hukum rajam, membedakan wanita dan laki-laki dalam beberapa perkara, dan selainnya.

Sehingga dalam pandangan mereka Islam adalah agama yang kejam dan tidak berperikemanusiaan, merendahkan derajat wanita, dan tidak menghargai HAM. Pada kesempatan lain akan kita bawakan sedikit gambaran tentang kontradiksi pemikiran mereka sehingga akan terlihat siapakah sebenarnya yang tidak menjunjung tinggi HAM dan siapa pula yang merendahkan derajat kaum wanita?

Sekaligus pula akan terlihat bagi kita tingkatan kegilaan mereka, entah gila karena harta, jabatan, pamor, mempertahankan eksistensi, mengikuti hawa nafsu, atau karena semata mengikuti orang-orang gila (tertular penyakit gila).

 

 

Doa:

Ya Allah kami memohon taufik dan hidayah-Mu dalam menghadapi makar-makar dan tipu daya musuh-musuh-Mu. Berikanlah taufik dan hidayah kepada kaum muslimin di negeri ini agar mereka sadar dan mau kembali kepada ajaran-Mu.

Jadikanlah kaum muslimin di negeri ini sadar akan ancaman yang dilancarkan oleh orang-orang munafik dan orang-orang kafir itu. lindungilah kami dari kejahatan dan makar mereka. amin ya Rabbal ‘alamin.


[1] Lihat pembahasan sebelumnya

Yang ‘Sunnah’ Ditinggalkan ?

Tinggalkan komentar

Suatu fenomena yang menyedihkan namun menyebar sedemikian rupa, yaitu sikap meninggalkan suatu amalan, adab, atau tuntunan Islam karena hukumnya ‘sunnah’. Sedangkan suatu perkara yang dianggap makruh malah dilakukan. Perilaku dan sikap seperti ini sangat banyak dan sangat sering kita dapati di tengah-tengah kaum muslimin di negeri ini yang mereka mengaku bermadzhab dengan madzhab asy-Syafi’i padahal al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berlepas diri dari sikap dan cara pandang seperti ini.

Sering kita dengar jawaban dari sebagian kaum muslimin ketika disampaikan kepadanya bahwa perkara ini adalah ‘sunnah’ maka yang keluar dari mulutnya adalah ‘Cuma sunnah saja, gak wajib ini’, atau ‘kan hanya sunnah, kok ngotot banget’, atau kata-kata yang senada dengannya. Ditambah lagi ketika kaum muslimin melihat para tokoh agama yang tidak mengamalkan ‘sunnah’ maka penilaian, cara pandang, dan sikap di atas semakin menjadi. Mungkin di antara yang terparah adalah orang yang mengatakannya sebagai sekadar ‘simbol’ atau ‘kulit’.

Selain para tokoh agama yang demikian sikap dan cara pandangnya, ditambah lagi dengan kurang lengkapnya pemahaman yang didapatkan oleh kaum muslimin tentang arti dan makna kata sunnah itu sendiri. Sehingga yang lebih banyak dan lebih sering mereka dengar adalah definisi ‘sunnah’ dalam bidang fikih. Yaitu suatu amalan yang apabila dikerjakan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan tidak mendapat dosa. Dengan berdasar definisi ‘sunnah’ secara fikih ini maka semua yang dikatakan sebagai ‘sunnah Nabi’ dihukumi demikian, yaitu apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak mendapatkan dosa. Padahal tidak demikian halnya.

Pada judul ini akan kita bawakan pernyataan al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah terkait amalan yang hukumnya sunnah atau mandub atau mustahab. Sebelum beranjak kepada pembahasan tentang menyikapi ‘sunnah’ dalam artian ajaran dan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaih wa sallam secara umum.

Sebelumnya akan kita ketahui terlebih dahulu arti kata ‘sunnah’ secara bahasa dan definisi sunnah dalam syari’at Islam secara global serta definisi sunnah menurut bidang ilmu hadits dan fikih. Semoga penjelasan yang singkat ini bisa memberikan pencerahan bagi segenap kaum muslimin dalam menjalankan agamanya. Untuk kemudian akan hiduplah ajaran Islam di negeri seribu pulau ini, sehingga akan menjadi “Baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur”. Amin.

Definisi ‘sunnah’ menurut bahasa:

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan:

وَالسُّنَّة فِي أَصْل اللُّغَة الطَّرِيقَة

Dan as-sunnah secara asal bahasa bermakna thariqah (tarekat, metode, tata cara-pen).[1]

Untuk mendukung makna secara bahasa di atas Ibnu Manzhur (penulis Lisanul ‘Arab) membawakan perkataan Khalid bin ‘Utbah al-Hudzali:

فلا تَجْزَعَنْ من سِيرةٍ أَنتَ سِرْتَها فأَوَّلُ راضٍ سُنَّةً من يَسِيرُها

Janganlah kamu gusar terhadap suatu sirah (tarekat) yang kamu menempuhnya, karena orang pertama yang rela terhadap suatu sunnah (sirah-pen) adalah orang yang menempuhnya.

Kemudian Ibnu Manzhur membawakan firman Allah Ta’ala di bawah ini untuk menguatkan makna ‘sunnah’ di atas:

وما مَنَعَ الناسَ أَن يُؤمنوا إذا جاءهم الهُدى ويستغفروا رَبَّهم إلاَّ أَن تأْتيهم سُنَّةُ الأَوَّلين

Dan  tidak ada sesuatupun yang menghalangi manusia dari beriman, ketika petunjuk telah datang kepada mereka, dan dari memohon ampun kepada Rabbnya, kecuali (keinginan menanti) datangnya sunnah  umat-umat yang dahulu. (QS. al-Kahfi: 55)

Ibnu Manzhur menukilkan pernyataan az-Zajjaj tentang penafsiran sunnah umat terdahulu:

“Sunnah orang-orang terdahulu ini adalah mereka menyaksikan adzab yang menimpa mereka, sehingga kaum musyrikin itu mengatakan: Ya Allah kalau memang ini (ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam-pen) adalah benar maka turunkanlah hujan batu kepada kami dari langit.”

Yaitu kaum musyrikin di masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengikuti sunnah (perilaku atau sikap) orang-orang terdahulu berupa permintaan diturunkannya adzab.

Sehingga penjelasan ini memperjelas arti sunnah secara bahasa, yaitu sikap, metode, tuntunan, atau perilaku, entah baik atau buruk. Wallahu ‘alam.

Perlunya mengenal kata ‘sunnah’ secara syari’at:

Setelah mengenal makna ‘sunnah’ secara bahasa maka kita akan mengenal kata ‘sunnah’ dalam agama Islam. Telah kita kemukakan sekilas adanya kekurangan dalam memahami makna atau definis ‘sunnah’ dalam istilah syari’at islam sehingga banyak sekali tuntunan Islam  yang seharusnya dipegangi oleh kaum muslimin malah ditinggalkan, bahkan dinilai sebagai suatu yang ganjil, aneh, nyeleh, dan asing. Orang-orang  yang mengamalkannya pun juga ikut dikatakan sebagai orang yang ‘nganeh-anehi’ dan tidak jarang pula dimusuhi. Bahkan diisukan sebagai teroris dan seterusnya karena dianggap sebagai ciri-ciri teroris. Semoga Allah Ta’ala memberikan hidayah kepada kaum muslimin agar bisa mengenal lebih dekat ajaran Islam yang merupakan ajaran dan bimbingan dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Penggunaan kata ‘sunnah’ dalam hadits:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

Hendaklah kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah al-khulafa’ al-mahdiyyin ar-rasyidin, hendaklah kalian berpegang dengannya dan gigitlah ia dengan geraham kalian. HR. Ahmad dan Abu Daud.

فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

Barang siapa yang benci kepada sunnahku maka ia bukan dari golonganku. HR. al-Bukhari dan Muslim[2]

Ibnu Hajar dalam Fathul Baari menjelaskan hadits al-Bukhari dan Muslim di atas:

الْمُرَاد بِالسُّنَّةِ الطَّرِيقَة لَا الَّتِي تُقَابِل الْفَرْض وَالرَّغْبَة عَنْ الشَّيْء الْإِعْرَاض عَنْهُ إِلَى غَيْره ، وَالْمُرَاد مَنْ تَرَكَ طَرِيقَتِي وَأَخَذَ بِطَرِيقَةِ غَيْرِي فَلَيْسَ مِنِّي

“Yang dimaksud dengan ‘as-sunnah’ (pada hadits ini) adalah ath-thariqah (tarekat/metode/tata cara), bukannya ‘sunnah’  yang menjadi kebalikan dari kata fardhu (wajib).

Sedangkan sikap membenci sesuatu adalah berpaling darinya untuk kemudian menuju kepada selain dari sesuatu itu (dalam hal ini ‘sunnah Nabi shallallahu ‘alai wa sallam’). Dan maksud dari hadits di atas adalah orang yang meninggalkan tarekatku dan mengambil (menempuh) tarekat selainku maka ia bukan dari golonganku.” Selesai penukilan.

Dari penjelasan al-Hafizh Ibnu Hajar di atas kita bisa menyimpulkan bahwa kata ‘sunnah’ dalam Islam memiliki tiga definisi:

1. Definisi menurut syari’at Islam

2. Definisi dalam bidang ilmu hadits

3. Definisi dalam bidang fikih dan ushul fikih:

Adapun masing-masing definisi di atas adalah sebagai berikut:

1. Definisi ‘sunnah’ secara syari’at:

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan tentang maksud ‘sunnah’:

مَا جَاءَ عَنْ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَقْوَاله وَأَفْعَاله وَتَقْرِيره وَمَا هَمَّ بِفِعْلِهِ

“Semua yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik berupa ucapan, perbuatan, persetujuan, dan apa yang beliau ingin lakukan.”[3]

2. Definis ‘sunnah’ menurut bidang ilmu hadits :

ما أضيف إلى النبي صلى الله عليه وسلم من قول أو فعل أو تقرير  أو صفة خلقية أو خلقية

Semua yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baik berupa ucapan, perbuatan, persetujuan, atau sifat jasmani atau akhlak.

3. Definisi ‘sunnah’ menurut bidang ilmu fikih dan usul fikih:

ما أضيف إلى النبي صلى الله عليه وسلم من قول أو فعل أو تقرير

Semua yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baik berupa ucapan, perbuatan, atau persetujuan.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan:

وَفِي اِصْطِلَاح بَعْض الْفُقَهَاء مَا يُرَادِف الْمُسْتَحَبّ

“Dan menurut istilah sebagian fuqaha’ adalah kata lain dari mustahab’”[4]

Dalam istilah sebagian fuqaha’ yang lain adalah masnun, mandub, dan sunnah, maknanya adalah amalan yang apabila dikerjakan mendapatkan pahala dan apabila ditinggalkan tidak mendapat dosa. Yaitu kata ‘sunnah’ dalam bidang fikih digunakan untuk menjelaskan hukum suatu amalan yang bukan wajib.

Dengan demikian kita telah mengetahui makna kata ‘sunnah’ dalam agama Islam,  yaitu ada beberapa definisi yang harus kita fahami dan kita ketahui. Sehingga ada di sana ‘sunnah’ yang bersifat wajib sehingga tidak boleh bagi siapa pun untuk meninggalkannya, barang siapa yang meninggalkannya maka ia tidak termasuk dalam golongan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam meskipun menamakan dirinya sebagai ahlussunnah atau sunni.

Bagaimanakah sikap terhadap amalan yang hukumnya ‘sunnah’ (mustahab/mandub)?

Terkait dengan judul rubrik ini, yaitu amalan yang hukumnya ‘sunnah’ (mustahab/mandub) yang apabila dikerjakan mendapat pahala sedangkan jika ditinggalkan tidak mendapat dosa maka al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan:

ولسنا نُحِبُّ لأحدٍ تَرْكَ أن يَتَهجَّدَبِمَا يَسَّرَهُ الله عَلَيهِ مِنْ كِتَابِهِ مُصَلِّيًا بهِ وَكَيفَ مَا أكْثَرَ فَهُوَ أَحَبُّ إلَينَا

“Dan tidaklah kami menganjurkan bagi seorang pun untuk meninggalkan shalat tahajjud dengan membaca apa yang Allah mudahkan baginya dari kitab-Nya untuk ia baca dalam shalat. Ketika shalat tahajjud diperbanyak bacaannya maka hal ini yang lebih kami senangi.” Ar-Risalah no. 343)

Pernyataan di atas beliau sampaikan terkait dengan shalat tahajjud yang hukumnya sunnah/mandub. Yaitu ketika hukumnya sunnah/mustahab tidak lantas ditinggalkan, malah sebaliknya ketika diperpanjang bacaannya atau diperbanyak raka’atnya maka akan lebih beliau senangi (dianjurkan). Tentunya sikap seperti ini sangat jauh berbeda dengan sikap sebagian kaum muslimin yang meremehkan amalan-amalan yang hukumnya ‘sunnah’.

Sehingga seorang muslim tidak sepantasnya untuk menjadikannya dirinya miskin pahala dengan meninggalkan amalan-amalan sunnah/mandub. Dan lebih buruk lagi dengan  meremehkan ‘sunnah-sunnah’ (ajaran dan tuntunan) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam secara umum, entah penampilan  seperti jenggot atau tata cara yang diwajibkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti makan dan minum dengan tangan kanan. Bahkan ikut-ikutan menyatakannya sebagai sekadar simbol atau kulit. Na’udzubillah min dzalik.


[1] Fathul Baari: Kitab al-I’tisham bi al-Kitab wa as-sunnah

[2] HR. al-Bukhari: bab: at-Targhib fi an-Nikah (no. 4675), Muslim: bab: Istihbab an-Nikah liman Taaqat nafsuhu … (no. 2487)

[3] Fathul Baari: Kitab al-I’tisham bi al-Kitab wa as-sunnah

[4] sda

Faedah dari Memberikan Pembelaan kepada Para Sahabat Nabi shallallahu ‘alaih wa sallam

Tinggalkan komentar

Rentetan majelis tentang para sahabat telah kita telaah bersama, meskipun masih menyisakan banyak sekali ayat dan hadits serta pernyataan para imam tentang keutamaan dan kedudukan  para sahabat yang tinggi dalam Islam dan di tengah kaum muslimin. Hanya saja sebagian kecil dari apa yang kita paparkan semoga bisa memberikan pencerahan dan pemahaman yang benar bagi seluruh kaum muslimin. Serta bisa membantu mereka dalam mengenali akidah dan keyakinan tentang para sahabat.

Mungkin ada yang bertanya-tanya apa faedah dari membahas dan menjelaskan kedudukan para sahabat? Dan bahkan memberikan pembelaan sedemikian rupa?

Sebenarnya untuk menjawabnya telah tersirat dari ayat, hadits, maupun pernyataan para imam yang telah kita telaah bersama.

Berikut adalah sebagian faedah yang sekaligus alasan kita memberikan pembelaan sedemikian rupa kepada para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wa radhiyallahu ‘anhum ajma’in:

Lainnya

Sahabat Nabi shallallahu ‘alaih wa sallam dalam Pandangan Para Imam Kaum Muslimin

Tinggalkan komentar

Segala puji bagi Allah Ta’ala sehingga pada bulan penuh berkah ini bisa kita bawakan Insya Allah beberapa pernyataan para imam kaum muslimin terkait dengan kemuliaan dan keutamaan para sahabat. Dan akan kita simak pula insya Allah pernyataan mereka tentang orang yang mencela walaupun hanya satu orang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebelum menyampaikan pernyataan mereka terlebih dahulu akan kita ketahui definisi sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

  Lainnya

An-Nawawi tentang shalat raghaib dan shalat nishfusy sya’ban

1 Komentar

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah ditanya tentang shalat raghaib dan shalat nishfusy sya’ban: Apakah dua shalat itu mempunyai dasar?

Beliau menjawab: Segala puji bagi Allah, dua shalat ini tidak pernah dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak pula oleh salah seorang shahabatnya radhiyallahu ‘anhum, juga tidak dilakukan oleh salah seorang dari imam yang empat rahimahumullah, tidak pula diisyaratkan oleh salah seorang dari mereka untuk dilakukan shalat ini. Demikian juga tidak dilakukan oleh seorang ulama yang dijadikan teladan. Namun itu baru muncul pada masa-masa akhir. Melakukan dua shalat itu merupakan bid’ah yang mungkar dan perkara batil yang diada-adakan. Lainnya

As-Suyuthi: Siapakah yang Mengadakan Shalat Raghaib Pertama Kali

Tinggalkan komentar

Al-Imam al-Hafizh Abul Khaththab berkata: Yang dituduh membuat shalat raghaib adalah Abdullah bin Juhdham. Ia mengadakan shalat itu berdasar hadits yang semua perawinya tidak dikenal dan belum pernah ditemui dalam semua kitab yang ada.

Asalnya ialah apa yang diceritakan oleh at-Thurthusyi dalam kitabnya, ia berkata: Abu Muhammad al-Maqdisi mengabarkan kepadaku, katanya: Lainnya

As-Suyuthi: Hukum Shalat Raghaib pada Bulan Rajab

Tinggalkan komentar

Jenis ini di antaranya banyak tersebar di sebagian besar negara-negara Islam dan kebanyakan dilakukan oleh orang-orang awam. Mengenai shalat raghaib ini, banyak dibuat hadits-hadits yang bukan bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Melalui hadits-hadits dusta bohong ini, orang meyakini sesuatu keyakinan yang tidak ada pada perkara yang diwajibkan Allah, dan dengan hadits-hadits ini terbawa pula berbagai kerusakan dan berlarut-larut dalam hal itu menimbulkan berbagai perbuatan munkar, lalu bertebaranlah bunga-bunga apinya dan tampaklah keburukannya. Diantaranya adalah shalat raghaib yang dilakukan setiap awal jumat pada bulan rajab. Lainnya

Newer Entries